- Back to Home »
- Cerpen , Pribadi »
- Cerpen - Pacar Pertama dan Terakhirku, Kakak Mahasiswa
Posted by : Unknown
Monday, 16 January 2017
PACAR PERTAMA DAN TERAKHIRKU, KAKAK MAHASISWA
Papan
bunga berjejer dimulai dari depan gang rumahku sampai kedepan rumahku. Cukup
banyak. Jika kau membaca dengan teliti, kau akan mendapatkan nama sekolahku
disalah satu papan bunga. Kau berfikir
aku sudah wisuda SMA? Mungkin benar,
tapi sedikit ralat mungkin ini wisuda kehidupan. Kau belum mengerti? Baiklah,
kita kilas balik kisah mengapa papan bunga ini berada disepanjang jalan menuju
rumahku.
Aku, Elfrina Meylisa, kau bisa panggil
aku El, hanyalah anak SMA biasa yang tak begitu cantik. Memakai kacamata dan
berjalan bungkuk membawa tumpukan buku, kau pasti sudah bisa menebak jurusanku.
Aku hanya murid kelas 11 dari Jurusan IPA disalah satu sekolah ku. Umurku sudah
16 Tahun diawal semester ini. Dan jujur saja, aku tidak memiliki pacar. Kau
bisa metertawakan aku, tapi aku tidak perduli. Karena yang kufikirkan sekarang
hanya bisa lulus dan masuk Universitas impianku.
Masa pubertas, identik dengan pacaran.
Bohong bila kau katakan kau tidak memiliki cinta dimasa SMA mu. Aku juga punya
cinta di masa abu-abuku, yang membedakan kita adalah, aku hanya punya seorang
kemungkinan. Seorang kemungkinan yang selalu aku semogakan. Aku cuman bisa
memendam rasa tanpa berkutik satu kalimat pun. Melihatnya dari jauh saja sudah
lebih dari cukup, karena aku selalu sadar bahwa bukan hak ku untuk memiliki
dia.
Dia adalah orang yang selalu aku
tunggu kehadirannya walau hanya 1 detik. Namanya Deon Alfian. Aku selalu
menutup mata dan mengucapkan mantra paling mustahil ketika aku di kantin, dia
dapat hadir dihadapanku. Terkadang mantra itu manjur juga, teteapi terkadang
itu hanya akan membuatku semakin tersenyum dalam sesak. Satu setengah tahun terbilang cukup bodoh untuk menyukai
seseorang dari balik kacamata.
Aku punya teman, 2 teman. Satu
berbentuk manusia, satu lagi berbentuk benda kau pasti tau apa. Handphone. Aku
akrab pada keduanya, aku bukan tipe orang yang terlalu bersedih dalam setiap
hari ku. Aku hanya seseorang yang tidak bisa diam dan banyak bicara, tapi
percayalah tidak sampai satuperseratus pun omonganku yang sesuai dengan kondisi
hatiku. Semuanya berbeda. Aku selalu menutupi luka yang tak berdarah dengan
kebohongan. Tertawa mungkin menutupi seperempat memar yang memilukan.
Aku sudah bilang aku punya 2 jenis
teman. Dan salah satunya adalah manusia. Dan salah satunya lagi adalah Gina
Thertina. Dia yang membuat semua kisah ini menjadi benar benar nyata. Karena
dialah awal dari semuanya. Tanpa dia aku tak akan menemukan seseorang.
Pelajaran Olahraga, Kontak Blackberry
Messanger, dan sebuah kebetulan, membuat kisah ini makin sempurna. Coba
hubungkan sendiri semua hal tersebut, kau akan mengerti jalan cerita ini dengan
cepat. Singkatnya, aku menemukan seseorang itu saat jam pelajaran olahraga
tepatnya saat aku mengecek kontak BBM gina, dan kebetulan mempertemukan aku
dengan Feroy Juan. Seseorang yang nantinya akan menunjukkan bahwa TUHAN itu
benar ada padaku.
Dibanding BBM aku lebih suka Facebook.
Karena lebih mendunia dan universal katanya. Feroy Juan terus saja terngiang
sampai sampai otakku refleks menulis namanya di kotak pencarian. Dan benar
saja, memang aku menemukan seseorang yang sama percis dengan yang diceritakan
Gina. Aku buka foto Profilnya dan yang kutemukan fotonya didepan sebuah
universitas. “Oh ternyata kakak itu mahasiswa,” pikirku.
Benar kata orang, hampir semua cinta
berawal dari “Hi” dan berjalan lancar karena punya kesukaan yang sama. Aku
mengalaminya, berawal dari “Hi” dan aku menjalaninya dengan asas K-Pop. Aku
suka kpop, dia juga. Sempurna. Tapi kuatnya cinta ku pada Deon membutakan
sebuah kesempatan untuk mencintai orang lain. Aku menjalankan chat demi chat
dan berfikir bahwa dia adalah temanku.
Kak Feroy ini orangnya sangat baik dan
sangat terbuka pada orang baru termasuk aku. Baguslah, aku dapat teman seperti
kakak ini. Kau bisa lihat history chat kami, seperti mengarang sebuah novel.
Sangat panjang sekali. Kau mungkin muak membacanya tapi aku tidak sedikitpun.
Aku sangat mengahargai huruf per huruf yang dikirimkan kakak itu. Bukan
menghargai lebih tepatnya mencandui.